Mengenal Suku Bangsa Minahasa
Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang kaya akan suku-suku dengan budayanya masing-masing. Sebagai
anak-anak bangsa, kita perlu mengetahui dan mengenal setiap suku dan budaya
yang ada. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Minahasa di pulau Sulawesi.
Untuk tujuan itulah maka tulisan ini saya sajikan untuk memberikan sedikit
gambaran tentang budaya suku Minahasa yang berdiam di Sulawesi Utara. Saya
berusaha untuk memberikan data itu dengan merujuk pada etnografi. Untuk mendapatkan
bahan-bahan yang disajikan ini, saya menggunakan metode searching di internet.
I.
ETNOGRAFI SUKU MINAHASA
1.1
Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
a. Lokasi
Minahasa
terletak di bagian timur-laut jazirah Sulawesi Utara, di antara 0 derajat 51’
dan 1 derajat 51’ 40’ lintang Utara dan 124 derajat 18’ 40’ dan 125 derajat 21’
30’ bujur Timur. Luas Minahasa 5273 Km², sedangkan luas wilayah pulau-pulau
sekitarnya 169 Km². Daerah Minahasa termasuk juga dengan beberapa pulau kecil di
bagian Utara, seperti pulau Manado Tua, Bunaken, Siladen, dan Naen.
Tetangga-tetangga Minahasa ialah Sangir Talaud di bagian Utara dan Bolaang
Mongondow di bagian selatan.
b. Lingkungan
alam
Kawasan
Minahasa berupa daerah vulkanik muda. Sifat-sifat khasnya ialah pelbagai tepi
gunung yang curam, diselingi oleh sungai-sungai kecil yang mengering sesudah
mengalir cepat dan singkat ke laut. Di Minahasa terdapat empat gunung tinggi
yang penting, yaitu Kalabat di Utara, Lokon dan Mahawu di tengah, dan Soputan
di Selatan. Selain juga ada beberapa gunung lain, yakni gunung Dua Saudara,
Masarang, Tampusu, Manimporok, Lolombulan, Lengkoan, dan pegunungan Lembean.
Sungai-sungai yang terdapat di Minahasa, antara lain sungai Tondano, Ranoyapo,
Poigar, dan sebagainya. Di tengah Minahasa terdapat suatu dataran tinggi (700m)
dengan danau Tondano di tengahnya. Di daerah itu dan di wilayah-wilayah datar
lainnya ditanami padi pada wilayah yang beririgasi, jagung di tebing-tebing
gunung beserta sayur-mayur, kelapa di sepanjang pantai dan pohon cengkeh di
wilayah yang lebih tinggi. Iklim Minahasa tropis dan basah, dengan curah hujan
rata-rata 2.000 sampai 4.000 mm. Dalam satu tahun terdapat dua musim, yakni
musim hujan yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai Maret dan musim panas
dari bulan April sampai September.
c.
Demografi
Orang
Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang),
orang Minahasa, dan juga Kawanua. Masyarakat asli Minahasa terbagi ke
dalam 8 sub-etnik atau suku bangsa, yakni:
1.
Tonsea; terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa.
2.
Tombulu; terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano.
3.
Tontemboan/Tompakewa; terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa.
4.
Toulour; terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano.
5.
Tonsawang; terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa.
6.
Pasan atau Ratahan; terdapat di bagian Tenggara Minahasa.
7.
Ponosakan; di bagian Tenggara Minahasa.
8.
Bantik; terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan
Selatan kota Manado.
Pola
perkampungan desa di Minahasa bersifat menetap, mengelompok, dan padat.
Kelompok rumah-rumah dalam desa memanjang mengikuti jalan raya. Rumah
tradisional berbentuk panggung dengan tinggi 5-10 meter, dengan maksud untuk
menghindari gangguan binatang buas dan gangguan musuh, misalnya
perampok-perampok yang datang dari luar daerah seperti dari kepulauan
Mindanauw, orang Tidore, dari Maluku, dan orang Bajo/Wajo.
1.2
Asal Mula dan Sejarah
Sejak
tahun 1970-an muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri tentang
yang manakah budaya asli mereka. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan
jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lilimut.
Penduduk Minahasa baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak
memperlihatkan lagi unsur-unsur budaya asli seperti dalam suku-suku bangsa lain
di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan sejarah yang cepat sejak
perjumpaan dengan orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan kolonial
Belanda di abad ke-19. Masuknya kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah
dimulai pada abad ke-16 dengan kedatangan orang Spanyol yang kemudian
digantikan oleh Belanda setelah kalah perang pada tahun 1660. Pengaruh
kehadiran orang Spanyol yang bertahan hampir seabad di Minahasa masih tampak
hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada beberapa kata yang tak lain
ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo). Selain itu, pakaian yang dianggap
orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung kurengkeng dan saraun di
Tondano) tak lain adalah pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan masuknya
bangsa Spanyol, masuk pula unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh
Pater Diego de Magelhaens dan kemudian oleh misionaris lainnya. Penginjilan
oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh para pendeta Protestan akibat
peralihan kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675, pendeta Montanus
mengadakan penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G Schwars dan J.C Riedel
pada tahun 1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur
kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara
berpakaian, sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan,
kesehatan, peralatan, pengangkutan, dan sebagainya.
Proses
perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan
masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi
daerah ini. Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung padi),
lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu) tetapi kemudian kedua nama ini menghilang.
Kini daerah ini dikenal dengan Minahasa (dipersatukan). Nama Minahasa pertama
kali muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789 dan lambat laun diterima
sebagai nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an muncul suatu julukan yaitu ‘Bumi
Nyiur Melambai’, dan lagi pada tahun 1990-an ‘Tanah To’ar dan
Limumu’ut’.
1.3 Sistem Religi
Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa
dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan
agama-agama wahyu.
a.
Kepercayaan asli masyarakat Minahasa
Unsur-unsur religi pribumi masyarakat
Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup individu,
seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun dalam bentuk
roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari, yang baik
maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo.
Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia
dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah
dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan
salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-)
yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’.
Opo ada
yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong
manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk
yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan
yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan
sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga Opo-opo yang
memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri
dan berjudi. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek
moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni
gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.
Selain itu, orang Minahasa juga percaya akan
makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur, hantu-hantu, dan
kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Bentuk makhluk halus itu bermacam-macam, yakni:
mukur (arwah dari orang yang telah meninggal tetapi masih berada di
sekitar keluarganya yang masih hidup), puntianak (arwah wanita yang mati
dalam keadaan hamil atau melahirkan dan suka mengganggu orang yang masih
hidup), setang mengiung-ngiung (sama dengan puntianak tetapi
khusus bagi kaum pria saja), pok-pok atau suanggi (sebangsa
drakula yang suka menghisap darah manusia yang masih hidup), panunggu (setan
yang menempati tempat-tempat tertentu), jin (sama dengan panunggu tetapi
selalu berkeliaran), dan lalu/lulu (sebangsa setan yang menghuni hutan).
Masyarakat suku Minahasa juga memiliki
kepercayaan bahwa ada bagian-bagian tubuh, benda-benda, binatang dan
tumbuh-tumbuhan serta ucapan manusia (sumpah dan kutuk) yang memiliki kekuatan
sakti. Konsep kejiwaan bagi orang Minahasa tidak dibedakan dengan konsep roh.
Unsur kejiwaan dalam hidup manusia ialah ingatan/gegenang, perasaan/pemendam,
dan kekuatan/keketer. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin
upacara-upacara keagamaan pribumi disebut walian atau tona’as. Mereka
berfungsi sebagai media untuk mendapatkan kekuatan sakti dari opo-opo dan
juga mengobati orang sakit dengan cara tradisional.
b. Agama-agama
wahyu dalam masyarakat Minahasa
Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu
komunitas Kristen yang juga masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu
dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi
pribumi ini berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah
sinkretisme. Hal ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan,
dan perilaku keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur
religi pribumi mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan
dengan agama Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa
tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu
terjadi juga beberapa ketidaksesuaian persepsi emic dan etic atas
sinkretisme tersebut.
Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat
Minahasa ialah Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme
merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari
populasi penduduk.
1.4KEKERABATAN
Pada umunya orang
Minahasa membenarkan kebebasan orang untuk menentukan jodohnya sendiri;
walaupun dulu kalanya dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orang tua
sekalipun yang bersangkutan belum saling mengenal. Dalam hal pembatasan jodoh
dalam perkawinan ada adat eksogami yang mewajibkan orang kawin di luar family,
ialah kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari
saudara-saudara sekandung ibu dan ayah, baik pria maupun wanita;beserta semua
keluarga batih dari anak-anak mereka.Sesudah nikah, secara ideal pengantin baru
tinggal menurut aturan lokal (tumampas) di sekitar tempat kerabat si suami
maupun kerabat siisteri. Dalam kenyataan, ada lokal ini tidak lagi diharuskan.
Rumah tangga (sanga awu,satu dapur)
baru dapat tinggal dalam lingkungan kekerabatan
pihak suami maupun pihak isteri sampai mereka memperoleh rumah sendiri.Bentuk
rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari hanya satu keluarga batih dan
dapat pula lebih. Anak tiri dan anak angkat karena adopsi dianggap sebagai
anggota kerabat penuh dalam keluarga batih maupun kelompok kekerabatan yang
lebih luas. Dulu ada kecenderungan untuk memperluas jumlah anggota keluarga
batih dengan adopsi karena hal ini dapat menambah tenaga kerja untuk pekerjaan
pertanian. Suatu rumah tangga yang memiliki lebih dari satu kelurga batih dapat
terjadi bilamana sesudah perkawinan, rumah tangga baru ini tinggal bersama dengan
salah satu orang tua mereka. Bentuk rumah tangga lainnya adalah seperti apa
yang dilukiskan oleh Padtbrugge yang terdapat beberapa abad yang lalu yaitu
rumah famili besar yang didiami olehenam sampai Sembilan keluarga batih,
masing-masing sebagai rumah tangga sendiri karena masing-masing keluarga batih
itu memiliki dapurnya sendiri. Dasar perwujudan keluarga batih orang Minahasa melalui
adat perkawinan adalah monogamy.Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang
terdapat pada orangMinahasa ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral, dimana
hubungan kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun wanita. Telah
kita kenal bahwa pada zaman dahulu dikenal suatu kelompok kekerabatan keluarga
luas yang tinggal pada sebuah rumah besar, yang rupa-rupanya mengenal adat
menetap sesudah menikah yang utrolokal.Sekarang keluarga luas seperti itu tidak
ada lagi. Kelompok kekerabatan yang penting yang terdapat sekarang ini dengan prinsip keturunan
tersebut di atas tadi ialah taranak , atau yang lebih
lazim disebut famili,suatu kelompok kekerabatan yang dalam antropologi biasanya
disebut kindred. Kelompok ini sering juga disebut patuari, sekalipun istilah ini dipakai
juga untuk hubungan-hubungan kekerabatan yang lebih luas yang tidak mempunyai fungsi kekerabatan apa-apa lagi. Suatu family setidaknya memiliki ayah dan ibu dari sepasang
suami-isteri, saudara-saudara ayah dan ibu, serta anak-anak dan cucu-cucu
mereka, saudara-saudara sekandung dari suami-isteri dan anak-anak mereka, dan
anak-anak sendiri.Identitas hubungan
kekerabatan seseorang dalam kelompok family ialah
nama famili yang disebut fam. Nama famili diambil dari
nama family suami atau ayah tanpa
perubahan prinsip keturunan bilateral. Hal ini diperkuat pula dengan adanya kenyataan penulisan fam
suami dan Fam isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah, tanpa mencantumkan nama kecil suami. Akan timbul suatu masalah identitas
famili, yang disebut hilang fam, bila sepasang suami-isteri tidak memiliki anak laki-laki yang akan mendukung fam ayah mereka.Masalah lain yang sangat erat berhubungan dengan batas-batashubungan kekerabatan bilateral itu adalah penurunan
warisan yangterdiri dari semua harta
milik yang diperoleh suami-isteri sebagai warisandari orang tua mereka masing-masing, ditambah dengan harta yang mereka peroleh bersama selama berumah tangga.
Benda-benda warisanyang belum dapat
atau tidak dapat dibagi, penggunaannya secaraberganti-ganti atau bergiliran yang diatur oleh saudara laki-laki yangtertua.
1.5 BAHASA
Dalam
hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan
dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini
adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari
sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di
daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan
bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat
di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka.
Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat dan membentuk
suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat
8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu,
Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau
Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa
Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu
rumpun, yaitu Proto-Minahasa. Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna
terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian
Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa
di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan
kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya.
Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai
secara aktif dan terbuka di muka umum.
1.6
SISTEM MATA PENCAHARIAN
Beberapa
mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini,
yakni:
a.
Berburu/meramu
Pada
zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian
pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak
lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi
kehidupan mereka. Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata
pencaharian berburu babi hutan, babi rusa (langkow), sapi hutan/anoa,
dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu ada yang meramu
damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan sambilan
atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
b. Pertanian
Sektor
ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa dalam arti bahwa
pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi
masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan
rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan
pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih,
dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan metode dan teknologi
modern. Tanah pertanian – sawah atau ladang – di
Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang
diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran)
yang digarap secara mapalus.
Sistem
bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya
bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan
padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan
rempah-rempah.
c.
Perikanan
Perikanan
merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam
masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang mendirikan
Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa. Selain itu, juga
ada peralihan dari teknologi tradisional dalam bidang perikanan ke dalam
teknologi modern yang membuat usaha perikanan semakin produktif, misalnya
dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah
lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai
mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah dalam dalam memajukan
sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertelaga, dengan mendirikan lembaga
usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang. Berbagai jenis ikan yang
juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh),
kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura (tuturuga).
Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke pasar-pasar di
ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke
daerah-daerah lain di luar Minahasa.
d. Peternakan
Peternakan
tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat
Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi,
ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun
terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah. Ternak biasanya
berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian, transportasi,
penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.
e.
Kerajinan
Pada
umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan
itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis
daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames),
dan bambu kecil yang disebut bulu tui. Terdapat juga pembuatan alat-alat
rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot bunga, piring,
dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan penduduk sampai ke
pelosok-pelosok Minahasa.
1.6
SISTEM KEMASYARAKATAN
Kelompok
kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga batih,
yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur). Sanggawu
dapat berupa pasangan suami istri sendiri, atau beserta anak, baik anak
kandung maupun anak angkat. Terbentuknya sanggawu dimulai dari
pernikahan antara seorang wanita dan pria yang pada umumnya bukan hasil
penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang bebas menentukan
jodohnya, asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan darah. Sesudah
menikah pun mereka bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara neolokal (tumampas)
di mana mereka tinggal di suatu tempat yang baru, terpisah dari kerabat istri
maupun suami. Namun sebelum mempunyai rumah sendiri, adakalanya mereka tinggal
di sekitar kerabat suami atau istri. Dengan tinggal berdampingan dengan
keluarga batih dari kerabat atau orang tua, terbentuk suatu keluarga luas, yang
biasanya terdiri dari beberapa keluarga batih, baik dalam satu rumah maupun
satu pekarangan.
Batas-batas
dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh
prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip
keturunan bilateral. Dalam bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini
disebut taranak (famili), yang dapat dimengerti sebagai sebuah klen
kecil. Setiap taranak memiliki kepala yang disebut tua unta ranak. Identitas
satu taranak dilihat dari nama famili atau disebut fam. Nama
famili ini biasanya diambil dari nama famili suami tanpa perubahan prinsip
bilateral. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan penulisan fam suami
dan isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah. Hal
yang menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa, ialah di bidang
warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa bidang
ini sering timbul persaingan antar taranak dan kerjasama dalam satu taranak.
Beberapa istilah yang digunakan untuk menyapa anggota famili dalam
masyarakat Minahasa, yakni: Opu (kakek dari ayah atau ibu), Omu (nenek
dari ayah atau ibu), Opa/Tek (ayah dari ibu/ayah), Oma/Nek (ibu
dari ayah/ibu), Papa/Papi/Pa’ (ayah), Mama/Mami/Ma’ (ibu), Om/Mom
(paman), Tante (bibi/tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak lelaki).
Desa
(Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah
orang yang semuanya disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan
pembangunan desa, terdapat juga orang-orang yang membantu hukumtua yang
biasa disebut tua-tua kampung. Mereka itu terdiri dari pemimpin-pemimpin
agama setempat, guru-guru, mantan hukumtua, pemimpin-pemimpin kecil/RT
dalam desa (kepala jaga), meweteng (pembantu kepala jaga),
juru tulis, dan sejumlah pensiunan yang ada di desa.
Dalam
menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan,
pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas,
masyarakat Minahasa menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu
dan kerjasama yang didasarkan pada prinsip resiprositas. Kegiatan kerjasama dan
gotong royong ini disebut dengan mapalus. Bantuan yang diberikan bisa
dalam berbagai bentuk, baik tenaga maupun barang-barang atau uang. Bantuan
tersebut harus disadari oleh orang yang menerimanya dan diberikan balasannya,
jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang tidak baik dan tidak akan
menerima bantuan lagi dari siapapun.
Masyarakat
Minahasa umumnya memiliki suatu kesadaran akan kesatuan tempat asal seperti
sekampung/sekecamatan/sedistrik dan juga berdasarkan kekerabatan/famili yang terwujud
dalam kelompok-kelompok sosial seperti perkumpulan-perkumpulan,
persatuan-persatuan, dan kerukunan yang terdapat di kota Manado maupun di
daerah lain di luar Minahasa. Kerukunan seperti ini biasa disebut pakasa’an,
yang dahulu sebenarnya berarti wilayah kesatuan adat yang sama. Tetapi kini
perkumpulan-perkumpulan pakasa’an ini tidak lagi mendasarkan kesatuan
sosial mereka menurut wilayah-wilayah pakasa’an atau distrik dahulu.
Perkawinan
dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang tua, sehingga
pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam oleh
pihak orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan
pertemuan, yakni pada saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus. Bila
seorang pemuda sudah menemukan jodohnya, ia berterus-terang kepada orang
tuanya. Jika disetujui, orang tua kemudian mengambil seorang perantara (rereoan/pabusean)
untuk menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan mengatasnamakan orang tua
pemuda kepada pihak orang tua perempuan. Bila disetujui, upacara berlanjut pada
penentuan hari pengantaran mas kawin yang dikenal dengan antar harta/mali
pakeang/mehe roko. Upacara itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan
tanggal pernikahan, jumlah undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi,
dan sebagainya. Kemudian barulah dilangsungkan upacara perkawinan yang biasanya
diadakan di gereja dan melalui pemerintah (catatan sipil). Di samping itu,
masih ada juga kawin baku piara yang tidak melalui catatan sipil atau
agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang tua dan
keterbatasan ekonomi.
1.7
SISTEM PENGETAHUAN
Sistem
pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
bagian, yakni:
a.
Alam fauna; adanya kepercayaan
terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan ular. Ada dua macam burung
yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru endo, kemekeke,
totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan (lowas,
keeke rondor), tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga wowos),
tanda tidak menyenangkan (mangalo/mangoro), dan tanda yang menakutkan
atau beralamat tidak baik (keke). Burung malam (wara wengi kembaluan)
dapat bersuara merdu tanda menyenangkan (manguni rendai), suara hampir
merdu dan putus-putus tanda tidak mengganggu perasaan (imbuang), suara
parau tanda membimbangkan (paapian), dan bunyi panjang serta keras (kiik)
yang bertanda menakutkan jika terdengar dari arah depan atau kanan pendengar.
Di samping itu, ada juga tanda dari ular, misalnya ular yang merayap dari barat
ke timur dan ular yang mengangkat kepala. Tanda yang lainnya ialah tanda dari
empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam, sapi, dll) yang dapat
meramalkan masa depan.
b. Alam flora; pengetahuan tentang alam
flora dapat terlihat dari bermacam-macam bahan makanan masyarakat Minahasa yang
diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak bahan-bahan obat pula yang diperoleh
dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu, buah-buahan,
rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya, obat malaria dibuat
dari sejenis akar yang disebut riis (tali pahit), goraka (jahe)
sebagai obat batuk, obat sakit perut dan penolak roh jahat, serta kucai (sejenis
bumbu dapur) sebagai obat demam bagi anak-anak.
c.
Tubuh manusia; pengetahuan tentang
tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian yakni yang menyangkut perbuatan dan
yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh. Pengetahuan itu lebih
bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya karena akan
menimbulkan akibat tersendiri. Contohnya:
·
jangan memotong kuku pada malam
hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota keluarga lekas terjadi; maksud
sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam gampang mendapat luka.
·
Jangan suka tidur tiarap, nanti akan
ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran darah tidak terganggu.
·
Bila ada kematian di desa, dilarang
ke ladang/sawah, jika tidak diindahkan akan mati lemas; sebenarnya adat yang
berlaku di Minahasa bila ada peristiwa kematian, setiap orang wajib memberikan
bantuan, yang berarti tidak seorangpun yang boleh keluar dari desa.
·
Mata kiri bergerak, artinya akan
mendapat surat atau akan segera bertemu dengan saudara yang berada jauh.
Sebaliknya, mata kanan bergerak berarti akan mendapat berita buruk atau akan
menangis nanti.
·
Telapak tangan kiri gatal artinya
akan mendapat untung atau uang. Jika telapak tangan kanan yang gatal, tanda
akan mengeluarkan uang.
d. Ada juga kepercayaan rakyat Minahasa
tentang mimpi, antara lain: mimpi gigi copot, alamat seorang dari keluarga
dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat rejeki; mimpi mendapat
uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.
e.
Pengetahuan tentang alam, misalnya
bila awan di langit kelihatan berpetak-petak, tandanya banyak ikan atau juga
terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran segerombolan lebah yang
terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi kemarau yang
panjang, dan bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum, alamat musim
kemarau panjang telah mulai.
f.
Pengetahuan tentang waktu;
masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang waktu dengan berpatokan pada
matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai timbul berarti jam 6
pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6 sore. Ayam
berkokok tengah malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan tanda
sudah hampir siang. Para petani di sawah mendengar suatu binatang bernama konkoriang
sebagai pertanda mereka harus segera pulang sebab waktu telah menunjukkan
pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat dari dua botol yang diikat
sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol lain. Waktu
selama pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya
dalam mapalus).
1.8
KESENIAN
Berikut
adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.
·
Mapalus
Mapalus adalah bentuk gotong royong tradisional warisan
nenek moyang orang Minahasa di Kota Manado yang merupakan suatu sistem
prosedur, metode atau tehnik kerja sama untuk kepentingan bersama oleh
masing-masing anggota secara bergiliran. Mapalus muncul atas dasar kesadaran
akan adanya kebersamaan, keterbatasan akan kemampuannya baik cara berpikir,
berkarya, dan lain sebagainya.
·
Rumah
Panggung
Rumah panggung atau wale merupakan tempat
kediaman para anggota rumah tangga orang Minahasa di Kota Manado, dimana
didalamnya digunakan sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Rumah
panggung jaman dahulu dimaksudkan untuk menghindari serangan musuh secara
mendadak atau serangan binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama
lagi dengan keadaan dahulu, tapi masih banyak penduduk yang membangun rumah
panggung berdasarkan konstruksi rumah modern.
Pengucapan
Syukur
Pada masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk
menyampaikan doa atau mantra yang memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas
berkat yang diberikan sambil menari dan menyanyikan lagu pujian dengan syair
yang mengagungkan. Saat ini pengucapan syukur di Kota Manado dilaksanakan dalam
bentuk ibadah di gereja. Pada hari H tersebut setiap rumah tangga menyiapkan
makanan dan kue untuk dimakan oleh anggota rumah tangga, juga dipersiapkan bagi
para tamu yang datang berkunjung.
·
Tari
Kabasaran
Tari kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah
salah satu seni tari tradisional orang Minahasa yang banyak dimainkan oleh
masyarakat Kota Manado, yang biasanya ditampilkan pada acara-acara tertentu
seperti menyambut tamu dan pagelaran seni budaya. Tari ini menirukan perilaku
dari para leluhur dan merupakan seni tari perang melawan musuh.
·
Tari
Maengket
Tari maengket adalah salah satu seni tarian rakyat orang Minahasa di
Kota Manado yang merupakan tari tontonan rakyat. Tarian ini disertai dengan
nyanyian dan diiringi gendang atau tambur yang biasanya dilakukan sesudah panen
padi sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Saat ini tari maengkat telah
berkembang dalam masyarakat membentuk tumpukan-tumpukan dengan kreasi baru
·
Musik
Kolintang
Musik kolintang pada awalnya dibuat dari bahan yang disebut
wunut dari jenis kayu yang disebut belar. Pada perkembangan selanjutnya,
kolintang mulai menggunakan bahan kayu telor dan cempaka. Orkes kolintang
sebagai produk seni musik tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan
tetapi juga sebagai media penerapan pendidikan musik yang dimulai dari
anak-anak sekolah di Kota Manado.
·
Musik
Tiup Bambu
Musik tradisional ini berasal dari kepulauan Sangihe Talaud
yang diciptakan oleh seorang petani pada tahun 1700. Pada awalnya musik bambu
hanya merupakan alat penghibur bagi masyarakat petani setelah seharian
melakukan aktivitas sebagai petani yang biasanya dibunyikan setelah selesai
makan malam. Dewasa ini di Kota Manado, musik bambu telah menjadi salah satu
jenis musik yang sering digunakan pada acara-acara tertentu agar menjadi lebih
semarak dan bergengsi.
·
Musik
Bia
Bia adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut.
Sekitar tahun 1941 seorang penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan
kerang/keong sebagai satu tumpukan musik. Musik bia akhirnya telah menjadi
salah satu seni musik tradisional yang turut memberikan nilai tambah bagi
masyarakat Kota Manado. Dengan hadirnya musik ini pada pagelaran kesenian dan
acara tertentu, telah menimbulkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik
mancanegara maupun nusantara.
1.9
SISTEM TEKNOLOGI DAN PERLENGKAPAN HIDUP
Seiring
dengan perkembangan jaman, teknologi dalam setiap suku bangsa pun semakin
berkembang. Di Minahasa, sama seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia,
sistem teknologi dan penggunaan alat-alat tradisional sudah semakin menghilang
diganti dengan alat-alat modern buatan pabrik. Namun, dalam bagian ini penulis
berusaha memasukkan daftar alat-alat tradisional yang dahulu dipakai oleh
masyarakat suku Minahasa atau mungkin juga masih dikenal atau digunakan oleh
masyarakat Minahasa dewasa ini di tempat-tempat tertentu. Alat-alat tersebut
mulai dari alat-alat rumah tangga sampai alat-alat yang digunakan untuk bekerja
dan berperang.
a.
Alat-alat rumah tangga: masih sering
dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi beras/padi), loto (bakul),
poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga
goreng), ramporan (dodika/tempat memasak), tampayang (tempayan),
mauseu/nuuseu/naaweyen/sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti
tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar),
patekelan/panteran/koi (tempat tidur), piso (pisau),dan
lisung (lesung).
b. Alat-alat pertanian: beberapa alat
yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko (bajak),
sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel
(sabel), dan pati/tamako (kapak).
c.
Alat-alat perburuan: alat-alat yang
dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain tumbak (tombak), sumpit
(senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam
jerat), dan sinapang (senapan).
d. Alat-alat perikanan: alat-alat yang
digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai nelayan, yakni
perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih
besar dari giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail),
nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan
di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala), sesambe
(berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero
babu yang telah dianyam untuk membungkus ikan.
e.
Alat-alat peternakan: alat-alat yang
digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak terdapat di
Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat
tersebut antara lain: lontang tempat makanan babi, roreongan atau
sangkar ayam.
f.
Alat-alat kerajinan: alat-alat yang
digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini merupakan campuran dari
alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari luar (yang
berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat
pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit
atap yang juga dibuat dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang
bambu, martelu (martil yang dibuat dari kayu), sarong peda (sarung
parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
g. Alat-alat transportasi: alat-alat
perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara lain roda sapi,
bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
h. Alat-alat peperangan, yakni
alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam berperang, antara
lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak,
pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang
(alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang
sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
i.
Alat-alat untuk menyimpan, antara
lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil
produksi), cupa (volumenya hampir tiga liter, terbuat dari bambu), gantang
(volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan
makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu
tempat menaruh alat-alat dapur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar